MASALAH
TANAH PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA
MATA
KULIAH AGRARIA
OLEH KELOMPOK III:
M. ADI GUNAWAN
(100210302004)
ALFANDARU G.
PERMANA (100210302031)
DAVID KURNIAWAN (100210302044)
AGENG KERA SAKTI (100210302046)
EDY SUPRYADI (1002103020
PROGRAM STUDI SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada
penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada
waktunya yang berjudul “MASALAH TANAH PADA PENJAJAHAN
BELANDA”.
Makalah ini berisikan tentang informasi tentang
masalah tanah pada penjajahan Belanda yang nantinya penulis berharap para
pembaca dapat mendapat informasi dan memperdalam pengetahuan tentang masalah tanah pada penjajahan Belanda.
Penulis menyadari bahwa Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah
ini. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan
Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Pemulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan faktor utama dalam usaha
pertanian maupun perkebunan. Tanah diperlukan sebagai tempat tumbuh bagi
komoditi-komoditi yang diusahakan. Apalagi Indonesia sebagai negara agraris,
memiliki tanah subur yang sangat mendukung bagi berkembangnya usaha perkebunan
maupun pertanian. Dengan faktor tanah yang kaya dan faktor tersedianya penduduk
sebagai tenaga kerja inilah yang menarik kaum penjajah untuk menguasai tanah di
IndonesIndonesia, yang memberi keuntungan dan kemudahan pihak Belanda dalam
mengembangkan keia.
Pada masa penjajahan, hampir setiap
peraturan yang dibuat kaum penjajah terfokus pada soal tanah.
Perundang-undangan di bidang agraria (pertanahan) dibuat sedemikian rupa
sehingga sehingga mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negeri
penjajah. Sebaliknya rakyat Indonesia sangat dirugikan dan menderita. Misalnya,
dengan diterapkannya UU Agraria 1870 di giatan ekonominya di tanah jajahan.
Dengan adanya UU tersebut pemerintah kolonial bisa memperluas tanah yang dikuasai
terutama untuk dijadikan areal perkebunan. Cara yang dilakukan salah satunya
adalah dengan mengalihkan fungsi tanah penduduk yang semula dijadikan lahan
pertanian menjadi areal perkebunan, seperti tebu dan tembakau.
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana pola kepemilikan tanah pada masa penjajahan Belanda?
- Apa penyebabnya?
1.3 Tujuan Penulisan
- Mengetahui pola kepemilikan tanah pada masa penjajahan Belanda.
- Memperdalam pengetahuan tentang pola kepemilikan tanah pada maa penjajahan Belanda.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pola Pemilikan Tanah
Tanah merupakan unsur paling penting
dalam kehidupan manusia terutama yang mengandalkan kegiatan ekonominya pada
tanah. Di Indonesia sendiri pada masa pemerintah kolonial Belanda, tanah
merupakan suatu investasi yang sangat penting. Sebelum membahas lebih jauh
tentang tanah, sebelumnya pada tahun 1870 ada dua kategori utama pola pemilikan
tanah, yaitu:
A. Pemilikan tanah pribadi secara
turun-temurun.
Yang dimaksud dengan pemilikan tanah
pribadi secara turun-temurun disini adalah tanah warisan milik pribadi yang
merupakan warisan yang dapat secara bebas dialihkan oleh pemiliknya. Misalnya,
dijual, dihadiahkan, atau dibagikan sebagai warisan. Dalam tanah pribadi ini
tidak ada hambatan legal ketika terjadi pembagian tanah garapan di antara
sejumlah ahli waris. Tanah-tanah garapan bukan sawah (tegal, pekarangan) hampir
selalu merupakan milik pribadi secara turun-temurun.
B. Pemilikan bersama atas sawah (tanah
irigasi)
Dalam pemilikan tanah ini petani
penggarap yang mempunyai hak atas sawah desa tidak boleh memindahkan haknya itu
tanpa persetujuan pemerintah desa. Tanah tersebut tidak boleh dibagi-bagikan di
antara para ahli waris.
Dengan adanya pola pemilikan tanah
tersebut sangat memungkinkan untuk terjadinya suatu peralihan fungsi dan pemilikan
tanah, misalnya saja yang terjadi di Indonesia. Dimana ada peralihan fungsi
tanah dari yang semula lebih berorientasi pada kegiatan pertanian berubah
menjadi usaha perkebunan. Adanya peralihan fungsi tanah tersebut tentunya juga
ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah adanya politik
liberal di Indonesia sejak tahun 1870 yang ditanamkan oleh pemerintah kolonial
Belanda dan yang lebih penting adalah dengan adanya UU Agraria 1870.
2.2 Masalah Tanah di Indonesia Pada Masa Liberal
Pada masa liberal di Indonesia terkait
dengan masalah tanah terdapat beberapa peristiwa yang terjadi, misalnya:
1. Pada tahun 1870 keluar Agrarische Wet
sebagai penutup Sistem Tanam Paksa di Indonesia.
2.
Dalam
kepemilikan tanah terjadi mudahnya hibah jangka panjang bagi perusahaan swasta
Eropa.
3.
Para
pengusaha asing mempunyai kesempatan untuk menyewa tanah garapan para penduduk.
4. Masyarakat pribumi diberi hak
kepemilikian individu yang berlaku secara turun-temurun. Dalam hal ini meskipun
banyak tanah milik penduduk yang disewa oleh pihak swasta asing tetapi mereka
masih punya hak untuk memiliki tanah dan mewariskan tanah tersebut pada ahli
warisnya.
5.
Terbukanya
tanah jajahan bagi penanam modal swasta Belanda dan terjadi pembukaan
tanah-tanah perkebunan swasta di Indonesia.
6. Masyarakat mulai mengenal sistem uang
dengan adanya sistem kerja upah bebas pada areal perkebunan.
2.3 Lahirnya Undang-Undang
Agrarische Wet 1870
Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet)
ditetapkan pertama kali pada tanggal 9 April 1870. Keluarnya undang-undang ini
merupakan momentum penting yang menjadi dasar utama perkembangan perkebunan
swasta di Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini para pemilik modal asing
bangsa Belanda maupun orang Eropa lainnya mendapat kesempatan luas untuk berusaha
di bidang perkebunan. Sejak itu pula keuntungan besar yang diperoleh dari
ekspor hasil perkebunan tersebut dinikmati oleh para pemodal asing, tetapi
sebaliknya penderitaan dipikul rakyat di negeri jajahan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
lahirnya Agrarische Wet 1870 (UU Agraria), yaitu:
1.
Pada
tahun 1870 merupakan awal dari politik liberal Belanda yang diterapkan di
Hindia Belanda.
2.
Dengan
berkembangnya sistem liberal para pengusaha swasta Belanda merasa usahanya
dibidang perkebunan mendapat rintangan dari STP. Dengan adanya UU Agraria ini
mereka menuntut diberikannya kesempatan lebih besar untuk membuka lahan
perkebunan di Indonesia.
3.
Sistem STP yang semakin progresif.
4. Disahkannya Agrarische Wet Staatsblad
no.55 1870.
Politik kolonial liberal di Hindia
Belanda atau Indonesia, pada awal mulanya bisa dilihat dari isi Undang-Undang
Agraria tahun 1870. Peraturan inilah yang umumnya dianggap sebagai dimulainya
politik kolonial liberal. Peraturan tersebut pada pokoknya berisi dua hal,
yaitu pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang asing
boleh menyewa tanah untuk perkebunan.
Mengenai isi dari peraturan tersebut
Kartodirdjo menjelaskan bahwa peraturan pertama dimaksudkan sebagai cara untuk
mencegah segala kejahatan dari kekuasaan yang tidak terkendali untuk mengambil
alih hak milik atas tanah. Pada peraturan pertama ini ide humaniter sangat
jelas sekali. Tetapi dalam peraturan yang kedua sudah dihubungkan dengan
kepentingan perusahaan yang akan memberi jalan kepada pengusaha swasta untuk
memakai tanah penduduk. Di pihak lain tanah dan tenaga kerja merupakan satu
kesatuan dan kedua-duanya begitu terikat di dalam organisasi politik penduduk,
sehingga orang yang mengambil tanah tersebut dapat menyelewengkan hasilnya
sebanyak yang dikehendaki. Oleh karena itu tidak mengherankan bila sesudah
tahun 1870 modal asing semakin meningkat. Dengan kondisi yang demikian maka
politik kolonial liberal mulai melanda Indonesia.
2.4 Perkebunan di Indonesia Setelah Pemberlakuan Agrarische Wet 1870
Berkaitan dengan sejarah pengembangan
perkebunan, yaitu pada masa sekitar 1870-an, pengusaha perkebunan di Indonesia
terutama diarahkan pada komoditi ekspor untuk pemenuhan kebutuhan pasar
internasional, khususnya Eropa. Dengan kebijakan politik perekonomian tersebut,
serta didukung potensi tanah dan tenaga kerja yang murah, maka kebijakan
pemerintah kolonial itu tidak sulit untuk dijalankan. Hal ini sesuai dengan
politik kolonial Belanda yang mengeksploitasi tanah jajahan bagi kemakmuran
negeri induk.
Dengan adanya Undang-Undang Agraria
tahun 1870, maka mulailah dibuka areal-areal perkebunan, baik didataran rendah
maupun didataran tinggi. Pembukaan areal perkebunan itu, disamping memanfaatkan
tanah-tanah tak bertuan, seperti rawa dan hutan tropis juga menggunakan
tanah-tanah milik rakyat yang diambilalih, baik dengan cara disewa untuk jangka
waktu yang lama ataupun dibeli dengan harga yang rendah guna kepentingan
perkebunan.
Dengan adanya sistem sewa tanah oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk dijadikan perkebunan bukan berarti selalu
berjalan dengan lancar. Tetapi ada juga masalah yang muncul. Hal tersebut
terkait dengan sistem sewa-menyewa yang kadang disertai tindakan-tindakan
represif sehingga menimbulkan konflik antara petani sebagai pemilik tanah dengan
perusahaan perkebunan. Misalnya yang sering terjadi diareal perkebunan tembakau
dan tebu. Konflik tersebut terjadi karena kepentingan petani sering dikalahkan.
Yang dimaksud dengan dikalahkan disini bisa mengacu pada harga sewa yang
ditawarkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang terlalu murah untuk suatu
daerah yang akan dijadikan areal perkebunan. Apalagi untuk areal perkebunan
tembakau dan tebu membutuhkan tanah yang subur, sehingga mereka memaksa petani
untuk menyewakan atau menjual tanah mereka pada Belanda dengan harga yang
relatif murah. Tetapi para petani yang sejak awal menggunakan tanah mereka
untuk pertanian tentu tidak bisa menyerahkan tanah mereka begitu saja bila
dirasa cukup merugikan pihak petani. Dengan kondisi yang seperti inilah yang sering
memicu terjadinya konflik antara kedua belah pihak.
Namun, dengan adanya peralihan fungsi
tanah tersebut tidak lantas selalu merugikan petani. Tetapi ada juga keuntungan
yang didapatkannya. Hal tersebut terkait pula dengan aksi protes yang dilakukan
petani terhadap usaha perkebunan. Dimana mereka tidak melakukan protes terhadap
perkebunan kelapa bila dibandingkan dengan protes di areal perkebunan tembakau
dan tebu. Fenomena seperti ini biasa terjadi, apalagi komoditi kelapa ini
cenderung dibudidayakan di daerah yang relatif jarang penduduknya, tanaman ini
juga tidak membutuhkan tanah yang subur untuk perkebunan. Selain kelapa,
perkebunan yang juga tidak menimbulkan protes misalnya kopi dan teh yang
ditanam didataran tinggi. Penyebabnya adalah dari perkebunan teh, kopi, dan
kelapa dapat dikembangkan tanpa ia harus menggusur lahan pertanian pangan.
Dengan kondisi yang demikian, tanaman
tersebut justru berkembang dikalangan petani sebagai tanaman diversifikasi atau
tanaman sampingan. Dengan adanya usaha perkebunan tersebut justru bisa
meningkatkan kesejahteraan para petani-pekebun dibandingkan bila mereka
semata-mata menggantungkan pendapatannya pada tanaman pangan. Dalam hal ini
tanaman perkebunan berfungsi untuk memperoleh pendapatan tunai, sedangkan sawah
atau lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Meskipun pada umumnya
petani tetap memprioritaskan usaha pertanian.
Dengan adanya UU ini pula yang mulai
menggantikan kedudukan pemerintah oleh kaum usahawan perkebunan. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya penyusutan perkebunan pemerintah dan dilain pihak
perkebunan swasta semakin luas. Adapun jenis tanaman yang dibudidayakan pada
saat itu juga tidak jauh berbeda dengan yang diwajibkan pada masa sistem tanam
paksa. Misalnya, kopi, tebu, tembakau, teh, dan sebagainya.
Pengaruh dari adanya UU Agraria ini juga
tidak hanya dialami oleh masyarakat di Jawa saja. Hal tersebut karena
perkembangan perusahaan perkebunan swasta tidak hanya terjadi di Jawa. Di luar
Jawa pun mulai muncul perkebunan-perkebunan tanaman keras. Hal disebabkan
karena tanah di Jawa semakin sulit diperoleh, sehingga para pengusaha swasta
asing tersebut mulai mencari tempat lain di luar, misalnya di Sumatera.
Perkebunan yang ada diluar Jawa biasanya
dikenal dengan sebutan perkebunan tanaman keras. Jenis-jenis tanaman keras
tersebut, misalnya karet, kopi, teh, kelapa sawit, dan sebagainya yang berumur
panjang dan tidak begitu menuntut penanganan secara tetap dan teratur, serta
mudah berintegrasi dengan sistem peretanian tradisional yang biasa dilakukan
penduduk luar Jawa, yaitu dengan sistem pertanian berladang. Dengan kondisi
yang seperti itulah akhirnya muncul perkebunan tanaman keras yang diusahakan
oleh rakyat dan pada akhirnya perkebunan diluar Jawa sebagai penghasil tanaman
keras sangat besar.
Demikianlah sejak adanya UU Agrarische
Wet 1870, maka perusahaan perkebunan swasta tumbuh subur baik di Jawa maupun
luar Jawa. Dengan adanya perkebunan yang diusahakan oleh para pengusaha asing
ini tidak selamanya membawa dampak negatif bagi rakyat Indonesia. Namun, dalam
perkembangannya justru membawa keuntungan bagi rakyat Indonesia, khususnya
golongan petani (sawah/kebun). Hal tersebut bisa dilihat dengan munculnya
perkebunan rakyat yang semakin nyata kedudukan dan peranannya. Misalnya, di
Jawa, Sunda, dan Kalimantan, banyak petani yang mulai menanam komoditi dagang
di samping bahan makanan, bahkan ada juga rakyat dibeberapa daerah semakin
mementingkan komoditi dagang tersebut.
‘
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Peralihan fungsi tanah dari tanah
pertanian menjadi tanah perkebunanan merupakan salah satu perubahan yang mmbawa
dampak baru, baik bagi masyarakat, pihak swasta dan pemerintah. Setelah
dikeluarkannya UU Agraria yang mengatur tentang tanah pada mqsa liberal, maka
pemerintah kolonial membuka peluang seluas-luasnya bagi pihak swasta,
khusususnya para pengusaha Cina. Hal ini menyebabkan perubahan yang sangat
besar, terutama bagi masyrakata pribumi, dimana posisi mereka sangat terjepit,
mereka harus menyewakan tanah mereka dengan harga yang sangat murah dan waktu
yang sangat lama. Bahkan juga terdapat kasus yang sangat memprihatinkan, atas
legitimasi dari pemerintah kolonial, para penyewa tanah juga mengeksploitasi
pemilik tanah dengan mempekerjakan mereka sebagai buruh ditanagh mereka sendiri,
dengan Undang-undang Agraria ini banyak perkebunan kolonial semakin menyempit,
dan meluasnyapemilik lahan perkebunan dari sektor swasta.
Terdapat beberapa perubahan yang harus
dicatat, berpindahnya kepemilikan tanah dari rakyat pribumi atau pemerintah
desa menyebabkan perubahan dalam bidang sosial dan ekonomi. Dalam bidang
ekonomi tentu saja rakyat pribumi tidak bisa berkembang, dikarenakan mereka
tidak meiliki tanah yang dijadikan sebagai modal untuk berusaha. Sehingga pada
masa ini banyak sekali rakyat yang melakukan urbanisasi dari desa ke kota,
dikarenakan pemenuhan kebutuhan ekonomi di desa tidak mampu mencukupi mereka.
Bahaya kelaparan juga mengancam rakyat pribumi, pada umumnya tanah yan dialih
fungsikan dari lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, kemudian
berubah fungsi menjadi perkebunan yang hanya memenuhi kebutuhan komoditi
ekspor.
Dengan terjepitnya posisi masyarakat
pribmumi maka timbullah konflik sosial yang tentu saja berusaha untuk
mengembalikan eksistensi mereka ditengah posisi mereka yang semakin terjepit.
Seperti adanya praktek perbanditan, pembakaran lahan-lahan perkebunan dan
perkecuan. Akan tetapi dengan adanya Undang-undang tanah tersebut maka
dimulailah satu babak baru di nusasantara mengenai adanya aturan-aturan mengenai
birokrasi pertanahan yang berpengaruh hingga saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Budi Utomo,Cahyo. 1995. Dinamika
Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Boomgaard,Peter. 2004. Anak Jajahan
Belanda Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: Djambatan.
Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja
Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya MEDIA.
1 komentar:
koq nggak selesai2,; sepertinya gitu saja pusing kata mantan Pres gus dur
Posting Komentar