Asal Usul kata Pasola
Pasola berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti
sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang
sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat
imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau
pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas
punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada
bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola
dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan
Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum. Pasola
merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional
yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang
disebut Marapu
(agama lokal masyarakat sumba).
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari
kedua Kabisu yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda
dalam kecepatan super tinggi (super speed power) dan melempar lembing (hola).
Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka
pesta nyale.
2.2 Sejarah Pasola
Menurut cerita
rakyat Sumba, pasola berawal dari seorang janda
cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang. Rabu Kaba mempunyai seorang suami yang bernama
Umbu Dulla, salah satu pemimpin di kampung Waiwuang. Selain Umbu Dulla, ada dua
orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Suatu
saat, ketiga pemimpin ini memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka akan melaut.
Tapi, mereka pergi ke selatan pantai Sumba
Timur untuk mengambil padi.
Warga menanti tiga orang pemimpin tersebut dalam waktu yang lama, namun mereka
belum pulang juga ke kampungnya. Warga menyangka ketiga pemimpin mereka telah
meninggal dunia, sehingga warga pun mengadakan perkabungan.
Dalam kedukaan itu, janda cantik dari almarhum Umbu
Dula, Rabu Kaba terjerat asmara dengan Teda Gaiparona yang berasal dari Kampung Kodi.
Namun keluarga dari Rabu Kaba dan Teda Gaiparona tidak menyetujui perkawinan
mereka, sehingga mereka mengadakan kawin lari. Teda
Gaiparona membawa janda tersebut ke kampung halamannya.
Beberapa waktu berselang, ketiga pemimpin warga
Waiwuang (Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula) yang sebelumnya
telah dianggap meninggal, muncul kembali di kampung halamannya. Umbu Dula
mencari isterinya yang telah dibawa oleh Teda Gaiparono. Walaupun berhasil
ditemukan warga Waiwuang, Rabu Kaba yang telah memendam asmara dengan Teda
Gaiparona tidak ingin kembali. Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggungjawaban
Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima
dari keluarga Umbu Dulla. Belis merupakan banyaknya nilai penghargaan pihak
pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti pemberian kuda, sapi,kerbau, dan
barang-barang berharga lainnya. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar
belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan
pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona. Pada akhir pesta pernikahan, keluarga
Umbu Dulla berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam
wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik,
Rabu Kaba.
2.3
Proses Upacara
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale.
Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan,
yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut
yang melimpah di pinggir pantai.
Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan
cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi
pantai. Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada
pagi hari, setelah hari mulai terang.
Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale
dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk
serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda
tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang
berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.
Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Tanpa
mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.
Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas,
disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan
wisatawan asing maupun lokal. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100
pemuda bersenjatakan tombak yang
dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun
berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban
jiwa. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban
tersebut mendapat hukuman dari para dewa
karena telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.
Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat
secara langsung dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan,
kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan.
Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan
tongkat yang dilempar oleh lawan. Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah
lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik
alami yang mengiringi permainan ini. Pekikan para penonton perempuan yang
menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan
menantang. Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang
tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan
kesuksesan panen. Apabila terjadi kematian dalam permainan pasola, maka hal itu
menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh
warga pada tempat pelaksanaan pasola.
2.4. Manfaat pasola
Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian,
tetapi menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.
Pasola merupakan kultur religius yang
mengungkapkan inti religiositas agama
Marapu. Pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan
antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Pasola
menggambarkan rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat, karena
hasil panen yang melimpah. Pasola dapat dijadikan tonggak kemajuan pariwisata
Sumba, karena atraksi budaya ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara.
Hal ini terlihat dalam setiap acara pasola selalu ada turis asing yang datang.
Warisan budaya ini merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Beberapa catatan uraian diatas dapat
digaris bawahi bahwa Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian, tetapi
menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola
merupakan kultur religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Pasola
menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua
kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Pasola menggambarkan
rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen
yang melimpah. Pasola dapat dijadikan tonggak kemajuan pariwisata
Sumba, karena atraksi budaya ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara.
Hal ini terlihat dalam setiap acara pasola selalu ada turis asing yang datang.
Warisan budaya ini merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Boro, Paulus Lete.(1995). Pasola,
permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Jakarta. Obor.Hal 1-2
Tradisi
Pasola, Wisatamelayu. Diakses pada 26 Mei 2010.
geDoor / Travel / Trend News Wisata / Ritual Pasola Sumba Barat
Wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar